Latar Belakang
Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, cenderung kondisinya semakin menurun. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia.
Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang cukup luas dengan keaneka-ragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazillia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan RI tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari luas hutan dunia (Suhendang, 2002).
Fungsi sosio - ekonomi menempatkan hutan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan jalan memanfaatkan hutan dengan sebaik-baiknya. Pemanfaatan hutan dengan menggunakan kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku menjadikan hutan akan lebih bermanfaat bagi kepentingan generasi yang akan datang. Fungsi hidro – orologi menempatkan hutan sebagai tonggak dan penopang pengaturan tata air dan perlindungan tanah, yang pada prinsipnya merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan bagi kehidupan.. Fungsi estetika menempatkan hutan sebagai pelindung alam dan lingkungan dan menjadikan hutan sebagai paru-paru dunia.
Pembahasan
Hutan adalah suatu lapangan pohon-pohon secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Seperti apa yang juga pernah dikemukan Odum (1997) bahwa hutan sebagai suatu ekosistem, bukan hanya terdiri dari komunitas tumbuhan dan hewan saja, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungannya. Berdasarkan pemilikannya hutan dibagi menjadi : Hutan Negara dan Hutan Milik. Hutan Negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan Hutan Milik adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik. Menurut fungsinya hutan milik negara dibagi menjadi :
- Hutan Lindung: Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengaturan tat air, pencegahan bencana banjir, erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah.
- Hutan Produksi : Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
- Hutan Suaka Alam ; Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan hayati dan atau mafaat lainnya. Hutan Wisata
- Hutan Wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau wisata buru.
Meskipun hutan hanya merupakan lapangan pohon – pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, tetapi bagi manusia hutan ternyata dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya. Hal tersebut dapat dilihat dari manfaat yang dapat diambil dari hutan yaitu pertama, manfaat secara langsung, kayu ( untuk bangunan dan bahan bakar), bahan obat dan penyegar, makanan langsung ( seperti buah-buahan, buruan ), bahan pakaian ( serat, ulat sutera ), pemeliha raan lebah (madu) dan lain-lain. Kedua, manfaat bagi industri, industri kayu, industri kertas (pulp), industri farmasi ( kosmetik ), getah ( pinus untuk gondorukem), minyak ( cengkeh, kayu putih ) dan lain-lain. Ketiga, manfaat lainnya, sebagai tempat rekreasi, olah raga, spiritual, sosial budaya, ketahanan nasional dan lain-lain. Besarnya manfaat yang dapat diambil dari hutan menjadikan hutan sebagai sasaran yang sangat potensial bagi sebagian besar masyarakat untuk meraih keuntungan dari hutan.
Potensi hutan di Pulau Jawa berdasarkan data statistik Perum Perhutani tahun 2008 adalah seluas 3.009.840 Ha dengan komposisi hutan produksi seluas 1.870.882 Ha (62,16%), hutan lindung, hutan tak baik untuk penghasilan (TBP) dan lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI) seluas 696.761 Ha (23,15%) serta suaka alam (SA), hutan wisata (HW), taman nasional (TN) dan cagar alam (CA) seluas 442.197 Ha (14,69).
Apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk di Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten) berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 sebanyak 109.840.897 orang, maka ratio luas hutan terhadap jumlah penduduk di Pulau Jawa sebesar 3.009.840 Ha / 109.840.897 = 0,027402 Ha atau setiap orang di Pulau Jawa berkesempatan untuk memanfaatkan hutan seluas 0,027402 Ha atau daya dukung hutan terhadap kebutuhan manusia hanya sebesar 274,02 M2. Berarti pula bahwa rata-rata setiap orang yang berada di Pulau Jawa bertanggung jawab terhadap baik manfaat maupun fungsi-fungsi hutan seluas 274,02 M2.
Istilah illegal – logging muncul ketika banyak terjadi penebangan – penebangan yang dilakukan oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap fungsi dan manfaat hutan. Illegal – logging diartikan sebagai kegiatan penebangan hutan secara liar yang berarti bahwa melakukan penebangan hutan dengan tidak menggunakan kaidah – kaidah atau norma – norma yang berlaku dan mengabaikan kaidah silvikultur. Illegal – logging atau sering juga disebut pembalakan illegal oleh Forest Watch Indonesia (2003) digunakan untuk menggambarkan semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia.
Praktek illegal logging yang selama ini dilakukan oleh oknum-oknum yangdak bertanggung jawab terjadi karena beberapa hal yang kesemuanya salingterkait. Penyebab tersebut adalah pertama adanya krisis ekonomi yang berkelanjutan mengakibatkan tingginya harga – harga barang konsumsisementara masyarakat disekitar hutan yang sudah miskin tidak lagi mampumencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga salah satu cara yang paling mudahadalah memanfaatkan hutan untuk kepentingan diri sendiri dengan jalanmemanfaatkan hutan dengan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatanhutan, khususnya kayu, dengan cara yang tidak benar. Kedua dengan krisiekonomi pula mengakibatkan perusahaan yang bergerak disektor kehutanankhususnya industri kayu, banyak yang mengalami kemunduran usaha, karena tngginya harga – harga barang produksi, sehingga untuk mendapatkan bahan baku kayu dengan harga murah dilakukan pembelian dari kayu yang tidak syah yang berasal dari hasil praktek illegal logging. Ketiga, lemahnya penegakan hukum, karena tidak adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Disamping itu kurangnya dana atau lack of budgedalam upaya mendukung kemampuan politik dan kurangnya tekanan publikPada tataran masyarakat, kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, sertaaparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan dilain pihak masih banyak industri pengolahan kayu yang membeli dan mengolah kayu dari hasil illegal logging.
Ketika hutan dimanfaatkan dengan cara menebang berdasarkan kaidah – kaidah dan norma – norma yang berlaku, masyarakat, khususnya masyarakat disekitar hutan telah banyak memperoleh manfaat dari hutan, antara lain sebagai pekerja hutan, seperti sebagai penggarap tanah hutan secara tumpang sari, sebagai blandong atau penebang hutan yang secara berkelanjutan dan terus menerus mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Dengan penghasilan yang relatif cukup dan berkelanjutan akan berakibat meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat disekitar hutan. Meningkatnya konsumsi masyarakat disekitar hutan akan meningkatkan pula sektor – sektor yang lain, misalnya industri dan perdagangan untuk saling berebut menuju masyarakat disekitar hutan, sehingga menjadikan masyarakat disekitar hutan akan secara terus menerus semakin berkembang. Dampak lebih lanjut adalah masyarakat disekitar hutan semakin sejahtera dan akan berdampak pula pada meningkatnya tingkat pendidikan. Dengan pendidikan yang tinggi, akan memberikan wawasan kepada masyarakat disekitar hutan untuk lebih menyadari fungsi dan manfaat dari hutan, sehingga pada gilirannya akan menjadikan hutan semakin lestari.
Penebangan hutan yang dilakukan berdasarkan kaidah – kaidah dan norma – norma yang berlaku menjadikan hutan menempatkan diri sebagaimana fungsinya. Namun demikian ketika terjadi krisis ekonomi yang berkelanjutan, tekanan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat semakin meningkat, karena harga barang – barang kebutuhan konsumsi terus membumbung tinggi, sementara pendapatan justru sebaliknya semakin menurun.
Disamping itu sulitnya lapangan kerja mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran, menjadikan hutan sebagai lahan atau tempat tumpuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan cara memanfaatkan hutan dengan sebanyak-banyaknya, meskipun dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Sementara itu dengan penegakan hukum lemah, menjadikan hutan semakin menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Akhirnya disana – sini banyak terjadi pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab terhadap fungsi hutan, yaitu dengan jalan melakukan penebangan secara liar atau illegal logging.
PENUTUP
Kesimpulan
Praktek illegal logging merupakan tindakan melawan hukum dan oleh sebab itu harus secepatnya diberantas. Illegal logging dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki dan kedua melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hal legal untuk menebang. Illegal logging menimbulkan banyak kerugian baik secara social, ekonomi maupun ekologi. Dampak sosial yang dirasakan adalah bahwa masyarakat disekitar hutan mendapat tekanan dari oknum – oknum yang mempunyai kepentingan untuk melakukan praktek illegal logging, sehingga timbul pemikiran bahwa illegal logging sering dilakukan oleh masyarakat disekitar hutan. Sedangkan dampak ekonomi yang nyata adalah :
1) Menurunnya tingkat pendapatan masyarakat disekitar hutan, sehingga daya beli masyarakat menjadi menurun.
2) Terjadinya persaingan harga kayu yang tidak wajar, karena banyak kayu yang dijual dipasaran dari hasil illegal logging yang diperoleh dengan biaya yang rendah.
3) Timbulnya kerugian bagi Pemerintah yang setiap tahunnya sebesar :
a. Pungutan PSDH = Rp. 4.195.758.000,-
b. Harga jual kayu = Rp.322.620.000.000,-
c. PPN = Rp. 32.262.000.000,-
Jumlah = Rp.359.077.758.000,-
4) Tingginya tingkat hutang dari para industry perkayuan, bahkan berdasarkan data yang ada kemungkinan kerugiannya setara dengan satu tahun fiscal bantuan luar negeri.
5) Banyak industri kayu yang berskala kecil menjadi bangkrut karena kalah persaingan dengan industri yang bersakala besar, sehingga banyak menimbulkan penganngguran.
Saran
Dari penjelasan tersebut diatas, dengan mempertimbangkan beberapa aspek dapat disarankan sebagai berikut :
1) Penegakan hukum harus lebih ditingkatkan, karena ini merupakan kunci pokok yang harus disepakati bersama dan merupakan komitmen nasional
2) Pemberdayaan masyarakat desa hutan harus lebih ditingkatkan, baik itu melalui program Perum Perhutani dengan PHBM nya maupun program – program lain dari Pemerintah Pusat maupun Daerah.
3) Pemberantasan terhadap pedagang - pedagang sebagai penadah kayu dan industri-industri kayu yang menggunakan bahan baku kayu dari hasil illegal logging secara kontinu dan terprogram dengan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.
4) Memberikan penghargaan pada masyarakat atau aparat yang dapat menunjukkan atau menangkap pedagang – pedagang dan industri – industri yang menggunakan kayu dari hasil illegal logging.
5) Kebijakan Pemerintah yang dilakukan dalam rangka pemberantasan penebangan liar ini harus bersifat antar departemen dengan melibatkan seluruh instansi yang terkait.
6) Tindakan penanggulangan harus dilakukan dengan cara cepat, baik dari tingkat lapangan sampai dengan ketingkat pusat maupun pada tingkat internasional, termasuk kerja sama semua pihak dan upaya pemanfaatan yang lebih efektif dari informasi secara ilmiah dalam rangka pembuatan kebijakan.
sumber:
- http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/djoko_wijanto.pdf dengan perubahan
- http://dephut.go.id
- Soetadi, R. dkk. 1978. Mengenal Hutan Jawa Tengah. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Semarang.
- Sumadi dkk. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
- Mustofa, H.A. Drs. 2000. Kamus Lingkungan. Rineka Cipta.Jakarta.
- Soetadi, R. dkk. 1978. Mengenal Hutan Jawa Tengah. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Semarang.
- Suharlan, A. dkk. 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri ( Yield Table of Ten Industrial Wood Species). Lembaga Penelitian Hutan. Departemen Pertanian. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar